Sunday, November 4, 2012

Hukum Menyiram Air dan Karangan Bunga di Kuburan

Banyak sekali ragam tradisi yang berhubungan dengan ziarah kubur. Mulai dari mengaji al-Qur’an, tahlil, yasinan hingga menyirami pusara dengan air. Tentang dasar hukum berbagai tradisi tersebut telah sering disebutkan dalam rubrik ubudiyah. Kali ini redaksi akan menerangkan dasar hukum menyiram kuburan dengan air dingin atupun air wewangian.Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan –tafaul- agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin.

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)
Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum.

Begitu pula yang termaktub dalam al-Bajuri
...ويندب أن يرش القبر بماء والأولى أن يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبرولده إبراهم وخرج بالماء ماء الورد فيكره الرش به لأنه إضاعة مال لغرض حصول رائحته فلاينافى أن إضاعة المال حرام وقال السبكى لا بأس باليسير منه إن قصد به حضور الملائكة فإنها تحب الرائحة الطيبة...
Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah dilakukan rasulullah saw terhadap pusara anyaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyia-nyiakan (barang berharga). Meski demikian menurut Imam Subuki tidak mengapa kalau memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai bau wangi.

Hal ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah saw
” أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) رش على قبر ابراهيم ابنه ووضع عليه حصباء ”
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam menyiram [air] di atas kubur Ibrahim, anaknya dan meletakkan kerikil diatasnya.”

Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam rangka Itba’ sunnah Rasulullah saw. sebagaimana diterangkan dalam hadits 

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا)
Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar.

Hukum Berbusana Hitam ketika Melayat

Tidak semua tradisi sejalan dengan tuntunan syariah. Hal ini bisa karena keberadaan tradisi yang mendahului syari’ah dan belum ada usaha pelurusan terhadapnya, seperti tradisi tumbal dan sesajen. Atau bisa juga tradisi tidak sejalan dengan syariah karena kehadirannya sebagai entitas baru hasil dari keterpengaruhan berbagai kebudayaan seperti halnya kebiasaan berbaju hitam ketika berta’ziyah.

Kebanyakan masyarakat kota selalu menggunakan berbusana hitam ketika melayat sanak saudara yang terkena musibah. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan menunjukkan rasa belasungkawa. Warna hitam dalam konteks kematian bermakna kesusahan. Hanya saja disayangkan pemahaman ini seolah berubah menjadi sebuah aturan tak tertulis bahwa barang siapa berta’ziyah harus memakai busana serba hitam. Padahal yang demikian ini kurang sesuai dengan tuntunan syariah.

Dalam syariah wacana mengenai belasungkawa bagi keluarga yang ditinggal mati disebut dengan istilah hidad. yaitu batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi oleh mereka yang ditinggal mati sebagai tanda berduka. Diantaranya adalah tatacara berbusana bagi mereka yang ditinggalkan baik keluarga atupun kerabat dekat yang berta'ziyah.

Mengenai busana warna hitam yang sering dipakai oleh seseorang ketika melayat sebenarnya telah diatur dalam Islam. Menggunakan warna hitam untuk menunjukkan mebelasungkawa hanya boleh dilakukan oleh suami atau istri yang ditinggal mati.

Sedangkan untuk orang lain, meskipun keluarga hukumnya makruh tahrim, bahkan sebagian ulama mengatakan haram. Dengan alasan dikhawatirkan penggunaan baju hitam itu menunjukkan seseorang tidak ridha dengan kematiannya yang sama juga maknanya dengan tidak menerima keputusan Allah swt. Atau bisa jadi warna hitam malah menunjukkan kemewahan tersendiri, sehingga memakai gaun hitam tidak untuk berbela sungkawa namun untuk berhias diri (mungkin karena mahalnya gaun hitam, atau hitam telah menjadi trend tersendiri).

Dengan demikian, sebenarnya hukum memakai gaun hitam ketika berta’ziyah dikembalikan kepada niat pemakainya. Sejauh tidak diniatkan untuk menunjukkan kemewahan atau ketidak-ridhaan taqdir Tuhan, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Dan begitu juga sebliknya, yang terpenting adalah tidak menganggap bahwa pakaian hitam sebuah kewajiban orang berta’ziyah. Dan boleh saja menggunakan baju berwarna selain hitam untuk ta’ziyah selama niatnya benar. Begitu keterangan dari al-Mausu’ah alfiqhiyyah juz 21:
لبس السواد فى الحداد اتفق الفقهاء على انه يجوز للمتوفى عنها زوجـها لبس السواد من الثياب... ومنع الحنفية لبس السواد فى الحداد على غير الزوج وقال المالكية ان المحد يجوز لها ان تلبس الأسود الا اذا كانت ناصعة البياض او كان الاسود زينة قومـها وقال القليوبي من الشافعية اذا كان الاسود عادة قومـها فى التزين به حرم لبسه ونقل النووي عن الماوردي انه اورد فى "الحاوى" وجـها يلزمـها السواد فى الحداد. لبس السواد فى التعزية : اتفق الفقهاء على ان تسويد الوجه حزنا على الميت من أهله او من المعزين لايجوز لما فيه من اظهار للجزع وعدم الرضا بقضاء الله وعلى السخط من فعله مما ورد النهي عنه فى الاحاديث وتسويد الثياب للتعزية مكروه للرجال ولابأس به للنساء اماصبغ الثياب أسود أو أكهب تأسفا على الميت فلايجوز عاى التفصيل السابق
Ulama bersepakat untuk memperbolehkan istri yang ditinggal mati memakai busana hitam dalam kontkeks ihdad (batasan bagi istri yang ditinggal mati suami)… ulama madzhab Hanafi melarang pakaian hitam selain suami/istri yang ditinggal mati. Begitu juga ulama madzhab Maliki yang memperbolehkan busana hitam bagi istri kecuali jika hitam itu dianggap mewah bagi masyarakat setempat. Adapun Imam qulyubi seorang ulama madzhab Syafi’I mengharamkan busana hitam (bagi istri yang ditinggal mati suami) apabila warna hitam dianggap mewah. Menurut Imam Nawawi seperti yang dinukil dari Imam Mawardi dalam kitab ‘Al-Hawi’ tentang pendapat mengenai pakaian hitam dalam kontek ihdad berkata: berbusana hitam ketika ta’ziyah apabila ditujukan sebagai tanda belasungkawa bagi peta’ziyah tidak diperbolehkan apabila terbersit niat penentangan atas taqir Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal itu merupakan sesuatu yang buruk dan dibenci, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits Nabi. Dan memakain hitam bagi seorang laki-laki dalam ta’ziyah hukumnya makruh.